creco3
creco2
creco

News

 

 

Pendidikan Vokasi Harus Lebih Gencar
Oleh Tri Murti dan Abdul Aziz | Senin, 20 November 2017 | 15:06

Dia menjelaskan, pemerintah bersama dunia usaha dan dunia pendidikan harus lebih gencar memberikan program pendidikan vokasi. Program pelatihan (training), praktik di balai latihan kerja (BLK), dan magang di perusahaan harus diperbanyak. Kurikulum pendidikan pun mesti bisa mengantisipasi teknologi disruptif pada masa mendatang.

Sebagai contoh, pengangguran terbuka justru didominasi lulusan SMK. “Berarti harus ada penyesuaian pada sistem pendidikan kejuruan,” ucap mantan Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) itu.

Raden Pardede mengakui, masa transisi dari job disruption ke job creation tergolong berat bagi Indonesia. Soalnya, bangsa Indonesia baru menjalani revolusi industri ke-2 dan ke-3. Jika tidak segera diantisipasi, revolusi industri ke-4 akan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan serta memperlebar kesenjangan kaya-miskin. Ujung-ujungnya, itu bisa memicu kecemburuan sosial dan mengganggu stabilitas kehidupan berbangsa.

“Karena itu, pemerintah harus membuat regulasi yang aplikabel, responsif, fleksibel, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi dan tatanan-tatanan baru lainnya. Intinya, pemerintah juga harus melakukan disrupsi pada regulasi,” ujar dia.

Dia mengemukakan, yang paling terkena dampak negatif teknologi disruptif dari sisi ketenagakerjaan adalah sektor perdagangan, terutama ritel. Itu terjadi karena transaksi secara elektronik melalui internet (e-commerce) memotong sebagian besar rantai pasokan (supply chain).

Sektor jasa keuangan seperti perbankan, juga termasuk yang paling awal mengalami teknologi disruptif. “Ini sudah mulai terjadi. Bank-bank menggunakan konsep branchless banking (tanpa cabang). Transaksi layanan tol pun sudah menggunakan e-money,” kata dia.

Yang harus diwaspadai, menurut Raden Pardede, adalah dampak teknologi disruptif pada industri manufaktur skala besar dan padat karya. “Kalau robot-robot masuk menggantikan pekerja manusia secara masif, PHK besar-besaran tak terhindarkan,” tandas dia. (bersambung)

 

Sumber berita : Investor Daily (http://id.beritasatu.com/macroeconomics/pendidikan-vokasi-harus-lebih-gencar/168109)


 

 

 

 
 
 

 

 

Job Disruption dan Job Creation
Oleh Tri Murti dan Abdul Aziz | Senin, 20 November 2017 | 15:11

Menurut ekonom senior/Ketua Yayasan Indonesia Forum Raden Pardede, revolusi industri ke-4 mengalami dua fase, yakni fase job disruption dan fase job creation. Fase job disruption atau disrupsi lapangan kerja terjadi setelah muncul inovasi teknologi yang sangat revolutif, yang ‘mengganggu’ tatanan lama.

Fenomena yang mendorong peralihan teknologi dan model bisnis dari konvensional ke digital itu dikenal dengan istilah teknologi disruptif atau disrupsi teknologi. Disrupsi sudah meluas ke berbagai bidang dan tatanan, bukan cuma teknologi.

Fase job disruption, kata dia, merupakan jembatan menuju fase job creation atau penciptaan lapangan kerja baru. Masa transisi dari fase job disruption ke fase job creation itulah yang mesti diantisipasi. “Tidak mudah berpindah ke lapangan kerja atau model bisnis baru. Perlu penyesuaian-penyesuaian, perlu skill yang berbeda, perlu sistem baru. Makanya, masa transisi dari job disruption ke job creation adalah masa paling kritis,” tutur dia.

Raden Pardede menjelaskan, pada fase job disruption, PHK tak terhindarkan karena peran manusia dalam rantai bisnis secara fisik digantikan mesin atau robot, internet, dan teknologi baru lainnya. Bila selama masa transisi tidak disiapkan langkah-langkah yang tepat, fase job creation tidak akan menghasilkan banyak lapangan kerja.

Dia mengungkapkan, pemerintah bersama dunia usaha, dunia pendidikan, dan para pemangku kepentingan lainnya bisa menempuh sejumlah langkah. Pertama, menyediakan substitusi lapangan kerja atau komplemen lapangan kerja sementara, sehingga SDM yang di-PHK bisa kembali bekerja. Langkah kedua yaitu mendidik mereka agar memiliki keahlian (skill) khusus untuk memasuki lapangan kerja baru.

Kecepatan mencetak tenaga kerja yang adaptif terhadap teknologi disruptif, menurut Raden Pardede, akan menentukan keberhasilan bangsa Indonesia menghadapi revolusi industri ke-4 dan menjadikannya peluang emas untuk menjadi negara maju. Jika gagal, Indonesia akan terus terpuruk dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

“Indonesia harus menjadikannya sebagai golden opportunity karena kita masih menikmati bonus demografi sampai 10-15 tahun ke depan,” tegas dia. (bersambung)

Sumber berita : Investor Daily (http://id.beritasatu.com/home/job-disruption-dan-job-creation/168110)